Pengaruh Resusitasi Cairan pada Hemodinamik dan Cairan Paru

Renjatan (syok) adalah kondisi gagalnya sistem sirkulasi memenuhi kebutuhan oksigen jaringan. Sistem sirkulasi terdiri dari jantung, pembuluh darah dan darah yang mengalir di dalamnya. Darah mengangkut oksigen yang terikat pada hemoglobin yang terdapat dalam sel darah merah.

Pada anak, renjatan seringkali terjadi karena kekurangan cairan, misalnya akibat diare atau demam berdarah dengue. Pada demam berdarah dengue kekurangan cairan terjadi karena cairan yang berada di dalam pembuluh darah bocor dan membanjiri jaringan sekitarnya. Keluarnya cairan terjadi karena kerusakan lapisan glycocalyx yang melapisi dinding dalam pembuluh darah. Umumnya renjatan diterapi dengan cairan elektrolit yang dimasukkan melalui infus.

Banyak pedoman resusitasi menganjurkan pemberian cairan infus dalam jumlah besar, dengan tujuan untuk segera memulihkan pasokan oksigen. Namun yang perlu diperhatikan adalah pemberian cairan dalam jumlah besar dapat mengencerkan darah hingga kadar hemoglobin menurun. Selain itu, cairan yang diberikan dalam jumlah besar meregangkan dinding jantung, disusul dengan keluarnya hormon atrial natriuretic peptide (ANP).

Penelitian pada pembuluh darah marmot memperlihatkan bahwa ANP mengakibatkan peluruhan lapisan glycocalyx hingga terjadi kebocoran pembuluh darah. Kebocoran di paru menyebabkan cairan paru meningkat dan pasien sulit bernapas. Tidak hanya menyebabkan kebocoran pembuluh darah, ANP juga melebarkan pembuluh darah hingga menurunkan tekanan darah.

Berdasarkan latar belakang tersebut, diperlukan penelitian yang bertujuan untuk menilai pengaruh resusitasi cairan terhadap hemodinamik Sus scrofa, sebagai model hewan renjatan. Penelitian dilakukan oleh seorang staf pengajar Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM, dr. Antonius Hocky Pudjiadi, SpA(K).

Penelitian  dilakukan pada anak babi yang dibuat renjatan dengan cara mengeluarkan darah. Hewan coba kemudian diresusitasi dengan cairan dalam jumlah besar. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ANP meningkat sebentar, kemudian turun kembali. Peningkatan yang singkat ini tidak meluruhkan glycocalyx. Cairan paru meningkat sedikit, namun tidak mengakibatkan gangguan pernapasan. Penurunan hemoglobin terjadi, namun peningkatan curah jantung mengakibatkan pasokan oksigen justru meningkat. Pelebaran pembuluh darah yang terjadi berbanding terbalik dengan peningkatan curah jantung, hingga menghasilkan tekanan darah yang stabil. Pelebaran pembuluh darah ini bersifat protektif, mengurangi peningkatan cairan paru.

Pemaparan hasil  penelitian tersebut dipresentasikan oleh dr. Antonius Hocky Pudjiadi, SpA(K) pada sidang promosi doktoralnya, Jumat (8/6) lalu di Auditorium Lt. 3, Gedung IMERI FKUI Salemba. Disertasi berjudul “Pengaruh Resusitasi Cairan terhadap Hemodinamik Sus scrofa sebagai Model Renjatan: Kajian pada Atrial Natriuretic Peptide, Glycocalyx Endotel, dan Pasokan Oksigen berhasil dipertahankan di hadapan tim penguji. Bertindak selaku ketua tim penguji, Dr. dr. Suhendro, SpPD-KPTI, dengan anggota tim penguji Prof. Dr. dr. Sri Widia A. Jusman, MS; Dr. dr. Saptawati Bardosono, MSc; Dr. dr. Minarma Siagian, MS; dan Prof. dr. Munar Lubis, SpA(K) (Universitas Sumatera Utara).

Di akhir sidang, Dr. dr. Ari Fahrial Syam, SpPD-KGEH, MMB, selaku ketua sidang mengangkat dr. Antonius Hocky Pudjiadi, SpA(K) sebagai Doktor dalam bidang Ilmu Kedokteran di FKUI. Melalui sambutannya, promotor Prof. Dr. dr. Agus Firmansyah, SpA(K) dan ko-promotor Dr. drh. Gunanti, MS (Institut Pertanian Bogor) berharap hasil penelitian ini dapat menjadi dasar penelitian klinis untuk memperbaiki tatalaksana resusitasi anak. (Humas FKUI)