Kusta, Masih Ada?

Pernahkah Anda mendengar tentang penyakit Kusta? Rasa-rasanya, penyakit kusta akhir-akhir ini makin jarang terdengar. Namun, apakah ini berarti penyakit kusta telah hilang? Sayangnya belum.

Hingga tahun 2018, tercatat masih terdapat beberapa wilayah di Indonesia yang belum eliminasi kusta. Artinya, angka kejadian kusta di wilayah tersebut masih lebih dari 1 per 10.000 penduduk. Wilayah yang masih terdeteksi angka kejadian kusta yaitu Jawa bagian timur, Sulawesi, Papua, Papua Barat, Maluku dan Maluku Utara.

Sementara itu menurut data kesehatan global, Indonesia menempati peringkat ketiga negara dengan penderita kusta terbesar setelah India dan Brazil. Organisasi Kesehatan Dunia atau World Health Organization (WHO) mengkategorikan kusta sebagai salah satu penyakit tropis yang terabaikan (Neglected Tropical Disease).

Lalu, apa itu kusta? Staf pengajar Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin FKUI-RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo, Dr. dr. Sri Linuwih Susetyo Wardhani Menaldi, SpKK(K), yang akrab disapa dr. Dini, menerangkan bahwa kusta merupakan penyakit infeksi dan menular yang disebabkan oleh kuman bernama Mycobacterium leprae.

Adalah dr. Gerhard Armauer Hendrik Hansen, seorang ilmuwan dari Norwegia yang pertama kali mengidentifikasi kuman Mycobacterium leprae pada tahun 1873. Itu sebabnya, kusta dikenal juga sebagai lepra dan tercatat sebagai salah satu penyakit tertua dalam sejarah.

Kuman Mycobacterium leprae dapat menular melalui kontak langsung dengan penderita (kontak yang lama dan berulang) dan melalui pernapasan dengan masa inkubasi 2-5 tahun setelah kuman masuk ke dalam tubuh.

Waspada Gejala Kusta

Gejala awal kusta tidak selalu tampak jelas. Tanda-tanda awal kusta biasanya berupa bercak putih seperti panu atau bercak kemerahan yang berukuran sebesar koin hingga selebar telapak tangan dan mati rasa atau baal. Kulit pada bercak tersebut kering karena terjadi gangguan berkeringat. Jumlah bercak satu buah hingga sangat banyak. Rasa kesemutan terutama pada siku hingga jari-jari tangan.atau pada area sekitar punggung kaki dapat muncul jika terjadi peradangan pada saraf tepi lengan atau tungkai bagian bawah. Kelainan kulit dapat juga berbentuk benjolan yang berjumlah banyak. Jika terdapat pada wajah, akan memberikan gambaran menyerupai muka singa, yang disebut sebagai facies leonina.

Jika menemukan gejala-gejala tersebut, segera ke dokter untuk berkonsultasi dan mendapatkan pemeriksaan bakterioskopik, histopatologis, dan serologis.

Terdapat dua jenis kusta yaitu kusta kering atau pausi basiler (PB) dan kusta basah atau multi basiler (MB). Pada kusta tipe PB tidak ditemukan bakteri lagi, sehingga jenis ini tergolong kusta yang tidak menular. Sebaliknya, jenis MB merupakan kusta yang sangat mudah menular.

Gejala penyakit kusta banyak yang menyerupai penyakit lain (the great immitator), sehingga diperlukan tingkat kewaspadaan tinggi untuk menyadarinya. Segera lakukan pemeriksaan jika gejala awal pada kulit menimbulkan rasa baal atau mati rasa.

Pencegahan Kusta

Bakteri Mycobacterium leprae berkembang pesat di suhu dingin. Di luar tubuh manusia, kuman dapat bertahan hidup antara 24-48 jam bahkan hingga sampai 9 hari, tergantung suhu dan cuaca di luar tubuh manusia. Semakin panas cuaca, maka semakin cepat kuman mati. Oleh karena itu, sangat penting untuk membiarkan sinar matahari masuk ke dalam rumah. Usahakan tidak ada tempat lembab di dalam rumah.

“Mengenal atau menemukan tanda kusta secara dini, baik oleh tenaga kesehatan maupun masyarakat, dapat memutus rantai penularan karena dapat segera diobati,” papar dr. Dini kepada Humas FKUI.

Sistem kekebalan tubuh turut memegang peranan penting dalam pencegahan kusta. Semakin baik sistem kekebalan tubuh kita, maka risiko untuk bakteri tersebut berkembang biak semakin kecil. Memelihara daya tahan tubuh agar tetap maksimal menjadi sangat penting terutama pada anak-anak dan lanjut usia. Pastikan asupan makanan kita kaya akan kandungan gizi yang dapat membantu meningkatkan sistem imun.

Pengobatan dan Stigma Kusta

Pengobatan kusta menggunakan beberapa kombinasi antibiotik atau disebut dengan multi drug treatment. Pengobatan ini tentu saja harus tuntas dan sesuai dengan resep dokter untuk menghindari bakteri kusta menjadi kebal atau resisten sehingga dapat memutus rantai penularan. Obat-obatan untuk kusta disediakan gratis oleh pemerintah di beberapa puskesmas dan rumah sakit, pasien tidak perlu membeli.

Hal yang paling ditakutkan dari penyakit kusta adalah kemungkinan terjadinya kecacatan. Padahal, kusta adalah penyakit yang dapat diobati total tanpa meninggalkan kecacatan selama ditemukan sejak dini dan segera diobati hingga tuntas. Hal terpenting yang dibutuhkan dari seorang pasien kusta adalah dukungan dan motivasi dari keluarga untuk patuh menjalani pengobatan. Seperti yang kita ketahui, banyak stigma buruk yang muncul kepada pasien kusta. Masyarakat banyak yang masih menganggap kusta sebagai penyakit kutukan atau bahkan guna-guna sehingga pasien sering dikucilkan dan mengalami perlakuan diskriminatif.

Stigma inilah yang hingga kini menghambat upaya pengentasan penyakit kusta. Keadaan ini tentu saja turut  mempengaruhi kondisi psikologis pasien. Pasien kehilangan rasa percaya diri dan kehidupan sosialnya yang mengakibatkan depresi hingga memicu niat untuk melakukan bunuh diri. Stigma tersebut juga dapat menyebabkan seorang penderita kusta enggan keluar rumah untuk berobat karena takut keadaannya akan diketahui masyarakat sekitar.

“Untuk itu sosialisasi dan penyuluhan untuk menghilangkan stigma sangat penting dilakukan, termasuk diskriminasi pasien atau orang yang pernah mengalami sakit kusta. Kusta dapat disembuhkan, obatnya pun tersedia, dan penanganan yang terintegrasi dengan dokter ahli lain seperti spesialis mata, spesialis saraf, spesialis bedah tulang, dan spesialis rehabilitasi medik, dapat membantu mengatasi kecacatan yang ditimbulkan,” tutup dr. Dini.

Humas FKUI