Hari Tuberkulosis Sedunia: Kenali Sejak Dini, Ini Waktunya Berantas TBC

Hari Tuberkulosis (TBC) Sedunia yang jatuh pada tanggal 24 Maret 2019 mengingatkan kita akan masih tingginya masalah TBC di Indonesia. Data dari badan kesehatan dunia World Health Organization (WHO) tahun 2018 menyebutkan bahwa Indonesia menempati peringkat ketiga setelah India dan Cina dengan jumlah kasus baru atau insidensi TBC terbanyak.

Sepanjang tahun 2017 saja, ditemukan 842.000 kasus baru TBC dengan rasio insidens sebesar 319 per 100.000 penduduk. Diperkirakan, masih banyak lagi penderita TBC di luar angka tersebut yang belum terdiagnosis.

Berkontribusi dalam 10 penyebab kematian terbesar di seluruh dunia, TBC menjadi penyakit infeksi yang paling sering menyebabkan kematian, bahkan melebihi angka kematian oleh HIV/AIDS. Di Indonesia terdapat lebih dari 107.000 kematian yang disebabkan oleh TBC pada tahun 2017. Hal tersebut berarti sebanyak 318 pasien TBC meninggal setiap harinya, atau sekitar 5 pasien meninggal setiap jam nya.

Tingginya angka kejadian dan kematian akibat TBC di Indonesia tentunya sangat disayangkan, mengingat bahwa penyakit tersebut sebenarnya dapat dicegah dan diobati hingga tuntas.

Tema yang diangkat secara global untuk peringatan Hari TBC Sedunia tahun ini adalah “It’s TIME!”, yang menyerukan kepada kita semua bahwa saat ini adalah waktunya untuk bekerjasama mencapai target pengendalian TBC, yaitu mengeliminasi infeksi TBC di seluruh dunia.

Tema global peringatan Hari TBC Sedunia sejalan dengan tema yang diambil oleh pemerintah Indonesia melalui Kementerian Kesehatan, yaitu “Saatnya Indonesia Bebas TBC, Mulai dari Saya”. Tema ini mengandung arti bahwa pencegahan dan pemberantasan TBC dimulai dari diri kita sendiri, keluarga, dan lingkungan.

Sebagai penyakit yang bersifat komunikabel, masyarakat memegang peranan besar dalam pengendalian penyakit TBC. Oleh karena itu, pengetahuan serta kepedulian masyarakat mengenai penyakit tersebut menjadi hal yang penting untuk ditingkatkan.

TBC adalah penyakit infeksi kronik yang disebabkan oleh kuman Mycobacterium tuberculosis dan dapat ditularkan melalui udara. Penyakit yang juga dikenal dengan sebutan ‘flek paru’ ini seringkali membuat miskonsepsi tersendiri di masyarakat, bahwa penyakit TBC hanya menyerang paru. Padahal, infeksi TBC dapat menyerang berbagai organ, sehingga pada dunia medis dikenal juga istilah ‘TBC ekstra paru’ yaitu ketika infeksi TBC ditemukan pada organ selain paru seperti kulit, kelenjar getah bening, usus, liver, selaput otak, hingga sumsum tulang belakang.

Secara umum, gejala utama atau sistemik pada pasien TBC meliputi demam yang tidak terlalu tinggi, penurunan berat badan, keringat pada malam hari, dan dapat disertai juga dengan nafsu makan yang menurun. Untuk TBC pada paru sebagai organ yang paling sering terkena, ditemukan juga gejala berupa batuk berkepanjangan yang bisa juga sampai batuk darah, nyeri dada, serta sesak napas.

Jika TBC mengenai usus, ditemukan gejala pada saluran cerna seperti diare berkepanjangan dan nyeri perut. Sedangkan, pada pasien dengan infeksi TBC pada kelenjar getah bening dapat ditemukan benjolan yang umumnya berada di sekitar leher, selain gejala utama TBC yang telah disebutkan tadi.

Pengobatan TBC memerlukan waktu yang cukup panjang, yaitu bisa berlangsung selama 6-9 bulan. Selama waktu tersebut, pasien TBC harus terus mengonsumsi obat dan rutin kontrol ke dokter. Pengendalian TBC tidak hanya melibatkan pasien dan tenaga kesehatan semata, melainkan juga berbagai pihak lainnya di sekitar.

Jangka waktu pengobatan yang panjang tersebut terkadang membuat pasien patah semangat. Untuk mencoba mengatasi masalah tersebut, saat ini FKUI sedang bekerjasama dengan National University of Singapore (NUS) untuk melakukan uji coba terapi TBC dalam jangka waktu yang lebih pendek. Diharapkan, durasi terapi yang lebih singkat tersebut dapat meningkatkan kepatuhan pasien TBC untuk berobat.

Adapun terapi yang sekarang masih digunakan untuk pengobatan TBC pada kondisi umum mencakup 4 macam obat yaitu rifampisin, isoniasid, pirazinamid dan ethambutol di 2 bulan pertama. Keempat obat tersebut harus dikonsumsi setiap hari. Sedangkan, 4 bulan berikutnya pengobatan dilanjutkan dengan 2 macam obat yaitu rifampisin dan isoniazid, yang dikonsumsi dengan frekuensi 3 kali seminggu.

Memang tidak dapat dipungkiri, konsumsi obat dengan jumlah yang tidak sedikit dalam jangka waktu yang panjang membuat kepatuhan pasien akan berkurang. Ditambah lagi obat TBC yang berbagai macam ini juga dapat menimbulkan beragam efek samping. Kepatuhan dan motivasi untuk sembuh menjadi syarat utama yang wajib dimiliki oleh pasien dalam pengobatan TBC. Di sini, peran keluarga dan kerabat sekitar sangatlah penting dalam mendukung dan mengingatkan pasien untuk selalu minum obat dan kontrol secara rutin.

Dalam waktu 2 minggu hingga 1 bulan pengobatan, kondisi pasien bisa membaik dan keluhannya menghilang. Hal ini yang seringkali membuat pasien merasa sembuh dan tidak meneruskan pengobatan. Padahal, kondisi putus berobat ini akan membuat pasien berisiko mengalami kekebalan terhadap obat anti TBC, sehingga penanganannya menjadi sulit karena tidak dapat diberikan regimen pengobatan yang biasa. Selain itu, kondisi putus berobat juga akan membuat komplikasi TBC mudah terjadi.

Di lain pihak, perlu disampaikan pula bahwa rantai penularan dari penyakit TBC juga harus diputus untuk mengeliminasi infeksi tersebut. Sehingga, hal lain yang perlu diperhatikan oleh penderita TBC selain kesembuhan diri sendiri adalah agar tidak menularkan ke orang lain.

Cara termudah untuk mencegah penularan TBC adalah dengan menggunakan masker dan menjaga kebersihan lingkungan, yaitu dengan memastikan cahaya matahari dapat masuk secara adekuat ke lingkungan tempat tinggal dan ventilasi udara terjaga.

Lingkungan tempat tinggal yang padat dan lembab adalah salah satu faktor risiko untuk penyakit TBC. Sebaiknya, batasi juga kontak dengan anak kecil, mengingat pada usia tersebut anak rentan terinfeksi TBC. Namun tidak perlu mengisolasi pasien TBC secara berlebihan apalagi terus menerus, karena kuman TBC tidak dapat menular lagi setelah pasien menjalani 2-4 minggu pengobatan secara rutin.

Hal terpenting lainnya dalam pengendalian TBC adalah deteksi dini. Bagi orang dengan gejala TBC, segera periksa ke puskesmas untuk evaluasi lebih lanjut. Jika terbukti menderita TBC, sebaiknya mereka dengan kontak serumah dan sekitarnya juga dilakukan skrining mengingat penyakit tersebut menular lewat udara. Saat ini, obat anti TBC sudah diberikan secara gratis di berbagai fasilitas kesehatan pemerintah, baik puskesmas kelurahan maupun kecamatan, sehingga biaya seharusnya tidak menjadi persoalan lagi.

Selain pengobatan, pola makan dengan gizi tinggi juga harus diperhatikan oleh pasien TBC. Konsumsi makanan tinggi protein seperti telur, ikan dan daging ayam diketahui dapat meningkatkan sistem imun tubuh untuk melawan infeksi TBC. Ironisnya, pasien TBC seringkali berasal dari golongan masyarakat menengah ke bawah, sehingga tidak jarang pula ditemukan pasien TBC yang tidak dapat sembuh dengan baik akibat pola makan yang tidak adekuat.

Oleh karena itu, akan lebih baik lagi jika pemberian tambahan susu atau makanan lainnya dapat diusahakan oleh pemerintah daerah setempat untuk diberikan kepada pasien yang menderita TBC, agar dapat menunjang kesembuhan pasien tersebut secara efektif.

Saat ini, gerakan untuk mengeliminasi infeksi TBC di dunia memang sudah gencar dilakukan, dan pemerintah juga tidak henti-hentinya berupaya memberantas penyakit tersebut. Namun pada akhirnya, kesadaran masyarakat untuk membantu berjalannya deteksi dini, pencegahan, serta pengobatan yang tuntas adalah kunci utama dalam memutus mata rantai penularan infeksi TBC.

Mulai sekarang, anjurkan anggota keluarga serta orang di sekitar kita untuk segera periksa ke dokter jika mengalami batuk lebih dari 2 minggu, apalagi jika disertai gejala utama seperti yang sebelumnya sudah disebutkan.

Selain itu, selalu ingatkan diri sendiri dan orang lain mengenai etika batuk, yaitu dengan menggunakan masker atau menutup mulut dengan lipat siku jika sedang batuk. Infeksi TBC adalah kondisi yang bisa diobati serta dicegah untuk terjadi. Pencegahan dan pemberantasan penyakit ini tentunya adalah tanggung jawab kita bersama.

Prof. Dr. dr. Ari Fahrial Syam, SpPD-KGEH, MMB
Dekan FKUI